Jumat, 5 April 2024 – 20:30 WIB
Jakarta – Pemerintah didesak untuk berhati-hati dan tidak terburu-buru dalam mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang merupakan aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan karena dapat mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Baca Juga :
Bea Cukai Purwokerto Dorong Pengembangan Industri Hasil Tembakau di Purbalingga
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyatakan pengaturan produk tembakau sebaiknya dipisahkan dari pembahasan RPP Kesehatan dengan pertimbangan bahwa IHT memiliki ekosistem yang berbeda secara signifikan dengan sektor kesehatan.
Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, berpendapat pasal-pasal terkait produk tembakau seharusnya diatur dalam pengaturan tersendiri sebagaimana mandat UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Baca Juga :
Bawaslu DKI Sebut Deklarasi ‘Desa Bersatu’ ke Prabowo-Gibran Bukan Pelanggaran Pemilu
Banyaknya larangan terhadap produk tembakau, seperti adanya pembatasan kandungan TAR dan nikotin serta pelarangan bahan tambahan, dikhawatirkan dapat menyebabkan penutupan usaha bagi anggota GAPPRI ke depannya.
Baca Juga :
Telur hingga Daging Ayam Mahal, BPS Catat Inflasi Maret 2024 0,52 Persen
“Kretek yang menjadi produk anggota kami, menggunakan bahan tambahan rempah sebagai penggenap rasa. Anggota kami juga menggunakan tembakau dalam negeri yang berkadar nikotin tinggi dalam pembuatan rokok. Kalau dibatasi dan dilarang, kita lah yang terkena dampak terlebih dahulu,” katanya beberapa waktu lalu.
Henry juga menegaskan sebelum adanya RPP Kesehatan, IHT telah menghadapi banyak tekanan regulasi. Dari 446 regulasi yang saat ini mengatur IHT, sebanyak 400 (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan.
Karena itu, GAPPRI memohon pemerintah memprioritaskan upaya perlindungan IHT yang menjadi tempat bergantung bagi 6,1 juta jiwa. “Kami mengusulkan untuk tidak dilakukan perubahan pengaturan terhadap industri produk tembakau yang berpotensi semakin memberatkan kelangsungan usaha IHT nasional,” tuturnya.
Di kesempatan terpisah, Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, juga menilai pasal-pasal terkait tembakau harus dipisahkan dari RPP Kesehatan. Pasalnya, selama ini, produk turunan tembakau sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012. Oleh karena itu, Trubus mempertanyakan relevansi pengaturan pasal terkait produk tembakau dalam RPP Kesehatan.
“Jadi, kalau diatur di situ (RPP Kesehatan) terkait tembakau, kemungkinan akan berdampak pada industri. Seharusnya memang di dalam RPP itu tidak mengatur lebih lanjut lagi terkait tembakau. Lebih bagus dibiarkan saja sesuai undang-undangnya, yaitu terpisah (dari RPP Kesehatan),” ujarnya kepada media.
Selain itu, Trubus menekankan perlunya partisipasi publik secara luas dalam proses penyusunan RPP Kesehatan. Harapannya, agar pemerintah memiliki kebijakan yang terbaik bagi semua pihak, termasuk bagi industri. “Ini akan membantu proses perumusan,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa hingga saat ini masih banyak terdapat pasal-pasal dalam RPP Kesehatan yang menuai perdebatan publik, termasuk pasal-pasal tembakau. Untuk itu, Trubus mendesak agar pengesahan RPP Kesehatan untuk ditunda atau tidak dipaksakan dikejar dalam waktu dekat.
Halaman Selanjutnya
Karena itu, GAPPRI memohon pemerintah memprioritaskan upaya perlindungan IHT yang menjadi tempat bergantung bagi 6,1 juta jiwa. “Kami mengusulkan untuk tidak dilakukan perubahan pengaturan terhadap industri produk tembakau yang berpotensi semakin memberatkan kelangsungan usaha IHT nasional,” tuturnya.