Dengan berbagai keputusan teladan sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang tangguh dan mulia bagi generasi TNI berikutnya: Sebuah tradisi kepahlawanan dalam bentuk terpurna. Dia meninggalkan TNI dasar harga diri dan kebanggaan bagi para pemimpin TNI masa depan. Karakter dan tindakan Pak Dirman pada saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati.
Kepahlawanannya telah memberikan TNI reputasi sebagai kekuatan tak kenal lelah yang mengutamakan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Dia mengokohkan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa.
Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916. Dia adalah seorang guru sekolah dasar di sekolah yang dikelola Muhammadiyah di Solo, yang saat itu disebut Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan Kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka harus memperbolehkan penduduk Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer pun disusun di bawah pengawasan ketat Jepang.
Di Jawa, kekuatan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa disusun di tingkat kabupaten, dan terdapat sekitar 60 batalyon relawan PETA yang dilatih dan disusun. Komandan batalyon dipilih dari para pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten mereka.
Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah terpilih. Hal ini menunjukkan bagaimana, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakter yang tegak.
Selama perang, para komandan PETA ini langsung memimpin batalyon mereka dan bersumpah setia kepada republik yang baru diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman langsung menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman terus melawan pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.
Meskipun Inggris sebenarnya berencana untuk mundur, unit-unit Sudirman terus mengganggu pasukan Inggris dengan sangat kuat sehingga keberangkatan mereka dipercepat. Di mata pejuang kemerdekaan Indonesia, ia menjadi figur pahlawan yang mewakili semangat perlawanan TNI. Dia diakui telah mendorong pasukan Inggris keluar dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini adalah pukulan telak yang memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kendali penuh Republik Indonesia.
Setelah peristiwa di mana Sudirman meraih ketenaran dan mendapatkan penghormatan dari sesama komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Pertama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Perwira tertinggi Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.
Dia bersumpah setia kepada TNI. Dia dianggap sebagai prajurit aktif yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin semua batalyon di Jawa memprotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih oleh Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka disampaikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga persatuan dan perdamaian republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.
Pada 19 Desember 1948, meskipun terdapat perjanjian gencatan senjata di bawah naungan PBB, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak terhadap Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang terhadap Pearl Harbor pada tahun 1941 atau punggungan Signor Mussolini terhadap Prancis pada tahun 1940. Dihadapkan dengan kenyataan ini, banyak pemimpin negara saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan membuktikan ketidaklegitiman tindakan Belanda melalui jalur diplomatik dan politik.
Pada akhir 1948, Jenderal Sudirman, Panglima Pertama Angkatan Bersenjata Indonesia, menderita tuberkulosis parah. Kesehatannya sangat buruk, dan ia hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat ia dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada awal serangan mendadak Belanda. Ia menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan invasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.
Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap tinggal di kota karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir seluruh anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk bertarung dan menawarkan perlawanan yang sangat sedikit ketika pasukan Belanda yang merebut mereka semakin dekat.
Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat disimpulkan bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan kabar penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan para prajuritnya meningkatkan semangat seluruh bangsa, dan TNI akhirnya berhasil memenangkan pertempuran.
Dengan berbagai keputusan teladan, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang tangguh dan mulia bagi generasi TNI berikutnya, yaitu tradisi kepahlawanan dalam bentuk terpurna. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan dasar harga diri dan kebanggaan bagi para pemimpin TNI masa depan.
Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa ia memiliki kepribadian yang kuat dan tidak kurang dalam keberanian, sikap teguh, dan semangat pengorbanan yang tulus. Dia sadar bahwa kemungkinan besar dia akan terluka dan tidak menerima perawatan medis yang memadai selama perang gerilya tersebut. Namun, dia memilih untuk mengorbankan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakannya meningkatkan kepercayaan bawahannya dan masyarakat secara keseluruhan di hadapan serangan Belanda.
Sulit untuk membayangkan bagaimana jika, saat itu, Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu tidak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati. Tindakan kepahlawanannya telah memberikan TNI reputasinya sebagai kekuatan tak kenal lelah yang mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Dia mencanangkan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa.