LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [BRIGADIER GENERAL TNI POSTHUMOUS SLAMET RIYADI]

by -144 Views
LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [BRIGADIER GENERAL TNI POSTHUMOUS SLAMET RIYADI]

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Di medan perang, Slamet Riyadi selalu berada di depan pasukannya. Slamet Riyadi, dengan pasukannya yang terkenal dan legendaris, selalu mampu menandingi pasukan Belanda. Slamet Riyadi membuktikan bahwa TNI dan Republik Indonesia mampu menyerang pusat kekuasaan Belanda, termasuk Surakarta (Solo), yang dipertahankan dengan senjata berat, artileri, pasukan infanteri, dan komandan-komandan yang baik.

Letnan Kolonel Slamet Riyadi telah membuktikan kepada generasi pemimpin TNI selanjutnya bahwa ia adalah seorang pemimpin yang selalu memimpin dari garis depan. Ia selalu hadir di tempat dan waktu yang paling kritis, mengendalikan situasi dari dekat, dan memberikan contoh. Ia tidak gentar di hadapan bahaya apapun, dan ia rela mengorbankan nyawanya demi kemuliaan Indonesia dan TNI.

Pada usia yang masih sangat muda, Ignatius Slamet Riyadi, lahir pada 26 Juli 1927, membentuk pasukan gerilya untuk mendukung proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Ia telah berjuang sejak era kolonial Jepang. Pada awal pendudukan Jepang, Slamet Riyadi, yang berasal dari Solo, mendaftar di Akademi Angkatan Laut Pemerintahan Militer Jepang di Jakarta.

Pada suatu kesempatan, ia bertemu dengan rekan-rekan nasionalis yang sedang merencanakan untuk mengusir Jepang. Ketika Jepang akhirnya kalah dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi mengajak rekan-rekannya pelaut untuk mengangkat senjata. Mereka bahkan berhasil menguasai kapal Jepang.

Setelah itu, Slamet Riyadi kembali ke Solo dan mengumpulkan para pemuda bekas pasukan bersenjata yang diselenggarakan oleh Jepang seperti PETA, Heiho, Kaigun untuk mendukung perjuangan Rakyat Solo melawan pasukan Belanda yang mencoba untuk merekolonialisasi Indonesia.

Slamet Riyadi secara langsung terlibat dalam berbagai pertempuran melawan Belanda dalam perjuangannya, termasuk selama Agresi Militer Belanda pertama dan kedua. Slamet Riyadi memimpin pasukan di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk di Ambarawa dan Semarang.

Di medan perang, Slamet Riyadi selalu berada di depan pasukannya. Slamet Riyadi, dengan pasukannya yang terkenal dan legendaris, selalu mampu menahan serangan pasukan Belanda. Ia membuktikan bahwa TNI dan Republik Indonesia mampu menyerang basis kekuatan Belanda, termasuk Surakarta, yang pada saat itu dijaga ketat dengan artileri, pasukan infanteri, dan komando-komando.

Slamet Riyadi, dengan pangkat Letnan Kolonel, adalah seorang prajurit yang memimpin Serangan Besar Surakarta pada tanggal 7-10 Agustus 1949. Serangan, yang juga dikenal sebagai Serangan Besar Empat Hari, dilakukan sebelum gencatan senjata berlaku untuk menunjukkan kekuatan TNI dalam mengusir Belanda dari negara ini. Untuk serangan yang sukses, Slamet Riyadi diberi wewenang atas Surakarta oleh Belanda melalui perintah Mayor Jenderal F. Mollinger.

Perjuangan Slamet Riyadi tidak berakhir di situ. Slamet Riyadi juga dikirim ke Jawa Barat untuk melawan Legiun Ratu Adil (APRA), yang dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling dari Pasukan Khusus Tentara Kolonial Belanda (KNIL DST) pada bulan Januari 1950 di Bandung.

Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada akhir Desember 1949, Slamet Riyadi dikirim ke Ambon untuk menekan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 10 Juli 1950.

Dalam operasi untuk menangkap Dr. Soumokil, pemimpin RMS, Slamet Riyadi, dipercayai oleh pimpinan TNI sebagai Komandan operasi untuk memimpin masuk ke Ambon.

Kekuatan TNI berhasil menduduki sebagian besar Kota Ambon melalui pertempuran yang sengit kecuali beberapa posisi strategis, termasuk Fort Victoria yang dijaga ketat. Pada saat itu, pasukan pemberontak diperkuat oleh mantan pasukan Pasukan Khusus kolonial Belanda yang biasa disebut ‘Topi Merah’ dan ‘Topi Hijau’, yang memiliki kemampuan dan pengalaman untuk menggagalkan serangan oleh TNI dengan lebih efisien.

Akhirnya, Fort Victoria berhasil direbut. Tetapi dalam pertempuran sengit di gerbang benteng, Slamet Riyadi, yang selalu berada di garis depan memimpin pasukannya, terkena tembakan pemberontak saat memberi isyarat kepada anak buahnya. Meskipun mendapat perawatan medis, ia meninggal pada pukul 21:45 pada 4 November 1950. Slamet Riyadi diberi kenaikan pangkat secara anumerta menjadi Brigadir Jenderal.

Brigadir Jenderal Anumerta Slamet Riyadi telah membuktikan kepada generasi pemimpin TNI selanjutnya bahwa ia adalah seorang pemimpin yang selalu berjuang di garis depan bersama para prajuritnya. Ia selalu hadir di tempat dan waktu yang paling kritis, mengendalikan situasi di lapangan, dan memberikan contoh. Ia tidak gentar di hadapan bahaya dan kehilangan nyawanya demi kemuliaan Indonesia dan TNI.

Source link