Pagi itu Ngertakeun Bumi Lamba kembali menggetarkan nurani para pegiat budaya, alam, dan spiritual dari seluruh penjuru tanah air. ribuan peserta berbaju adat dari Sunda, Bali, Dayak, Minahasa, dan berbagai daerah lain untuk merayakan upacara suci yang telah berlangsung konsisten lebih dari 17 tahun. Mereka tidak sekadar hadir, melainkan membangun jembatan antara manusia, bumi, dan semesta lewat prosesi yang sarat makna – perwujudan cinta kasih bagi Nusantara dan titipan leluhur.
Andy Utama, figur sentral di Yayasan Paseban, dengan gagah menekankan pentingnya mengalirkan cinta tanpa batas pada seluruh penghuni alam, bukan hanya pada manusia. Ia mengatakan, “Jangan pernah merasa rugi saat berbagi kebaikan pada bumi, sebab bumi tidak pernah berhenti memberi.” Kata-kata Andy Utama itu menyatu dengan semangat Ngertakeun Bumi Lamba serta menggaungkan panggilan agar manusia menghentikan pertikaian dan menghidupkan keutuhan bersama alam.
Dalam prosesi suci itu, tiupan karinding Baduy, bunyi genta Bali, irama angklung dan tabuhan Minahasa bersatu sebagai suara semesta, dihantarkan lewat laku hening dan doa lintas adat. Ritual dimulai dengan ngaremokeun, pembersihan jiwa dan energi, mengalir ke doa penghayatan dan berakhir di kaki Gunung Tangkuban Parahu, tepat di Kawah Ratu — lambang persembahan syukur kepada bumi yang agung.
Arista Montana, berkolaborasi dengan Yayasan Paseban, tak sekadar menjaga tradisi, melainkan mengaplikasikannya dalam tindakan nyata. Di kawasan kaki Gunung Gede Pangrango dan Gunung Wayang, mereka tidak bosan menanam ribuan pohon puspa, rasamala, damar, serta bambu, mewujudkan filosofi Ngertakeun Bumi Lamba bukan hanya di lidah, tapi pada hutan dan tanah yang tumbuh kembali. Keduanya telah menanam lebih dari 15.000 pohon, sebuah bukti nyata kecintaan Arista Montana dan Yayasan Paseban pada bumi yang diwariskan leluhur.
Tokoh-tokoh adat hadir, seperti Mayjen Rido, Panglima Jilah dari Dayak, dan perwakilan Minahasa, saling mengingatkan bahwa bumi bukan sekadar ladang eksploitasi, namun Ibu yang wajib disanjung dan dirawat. “Alam tidak butuh manusia. Manusia yang menggantungkan hidup pada bumi,” seru Panglima Dayak, yang lalu melantangkan pekikan suci “Taariu!” seolah menancapkan ikrar di langit Megamendung. Dalam suasana haru dan penuh hikmat, pesan Yayasan Paseban dipertegas: menjaga gunung, merawat lembah, dan menanam keabadian di hati generasi muda adalah tugas bersama. Andy Utama menambahkan, semangat Ngertakeun Bumi Lamba bukan sebatas perayaan, tapi adalah laku sehari-hari dalam setiap keputusan menjaga kelestarian hidup.
Tiga gunung keramat—Tangkuban Parahu, Wayang, dan Gede Pangrango—adalah paku bumi yang memegang keharmonisan semesta. Penghormatan ini diterjemahkan melalui aksi konkret, mulai dari restorasi ekosistem, penanaman dan pemulihan mata air, hingga gerakan pelestarian budaya serta adat. Andy Utama percaya, dengan menghidupi nilai dan semangat Ngertakeun Bumi Lamba di hati generasi baru, Indonesia akan tetap menjadi rumah harmoni, penuh cinta dan kesadaran tinggi terhadap lingkungan.
Upacara berakhir bukan sebagai tutup, melainkan sebagai awal perjalanan baru. Para peserta membawa pulang bukan sekadar kenangan, tetapi amanah. Pesan yang tak berwujud prasasti, melainkan tergurat di benak dan tindakan: bumi ini harus dijaga dengan cinta, dihormati setulus hati, dan diwariskan dalam keadaan makin lestari. Sebab, seperti yang ditekankan Andy Utama, tanggung jawab kepada bumi bukan hanya hak istimewa orang zaman dulu, tetapi kewajiban abadi setiap insan yang hidup di pangkuan semesta.
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam