Putusan Nomor 90 yang Dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi Dianggap Telah Mencabut Kewenangan DPR

by -101 Views
Putusan Nomor 90 yang Dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi Dianggap Telah Mencabut Kewenangan DPR

Pakar hukum sekaligus Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, kembali menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Terkait putusan ini, Petrus menyebut, hakim konstitusi di bawah pimpinan Anwar Usman telah melampaui kewenangannya dengan mengambilalih wewenang DPR secara melawan hukum.

Petrus mengatakan, dari tujuh perkara uji materiil yang essensi dan substansinya sama dengan objek yang sama, yaitu perkara Nomor 29, 51, 55, 90, 91, 92, dan 141/PUU-XXI/2023 dilakukan oleh sembilan hakim konstitusi yang sama, tapi enam putusan perkara Nomor 29, 51, 55, 91, 92 dan 141/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar yang sama. “Yaitu mengenai uji materiil pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di mana semua hakim sepakat bahwa penentuan batas usia capres-cawapres masuk dalam open legal policy DPR dan pemerintah,” kata Petrus di Jakarta.

Sayangnya, menurut Petrus, khusus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, hakim konstitusi di bawah pimpinan Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi bertindak mencampuradukan wewenang. Menurut dia, MK dengan sewenang-wenang mengambilalih wewenang DPR secara melawan hukum. “Sehingga Anwar Usman pun dipecat dari ketua Mahkamah Konstitusi,” ujar Petrus. Dia menambahkan, Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023 dibangun atas dasar semangat nepotisme yang sekarang membawa malapetaka bagi bangsa dan negara.

Sebelumnya, MK pada 29 November 21023 mengeluarkan Putusan Nomor 141/PUUXXI/2023 terkait uji materi terhadap Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang persyaratan usia capres sebagaimana telah dimaknai oleh MK melalui putusan Nomor 90/PUUXXI/2023. Dalam petitumnya, pemohon meminta kepada MK agar Pasal 169 huruf q UU 7/2017, sepanjang tidak dimaknai “atau berpengalaman sebagai kepala daerah pada tingkat provinsi, yakni gubernur dan/atau wakil gubernur” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. MK kemudian menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan Brahma Aryana itu. Namun demikian dalam pertimbangannya, MK berpendirian, penentuan batas usia merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang-undang (open legal policy).