Pemerintah telah meminta pondok pesantren untuk menunjukkan kesetiaan mereka kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui simbolisasi dokumen akademik dan kurikulum yang mereka miliki. Salah satu cara untuk itu adalah dengan mencantumkan lambang negara Indonesia, yaitu burung garuda, dalam ijazah yang dikeluarkan oleh pondok pesantren.
Selain itu, pondok pesantren juga diharapkan mengakomodir pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dalam kurikulum mereka.
Dalam acara Sosialisasi UU No 18/2019 tentang Pesantren di Pondok Pesantren As’adiyyah, Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, dijelaskan bahwa lambang negara dalam ijazah pesantren adalah bentuk pengakuan pemerintah terhadap pendidikan nonformal pesantren, terkait kesetiaan terhadap empat pilar kebangsaan dan komitmen moderasi beragama.
Pencantuman lambang negara dalam ijazah pesantren telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 31 Tahun 2020. Pasal 26 ayat 2 dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren harus mencantumkan lambang negara di bagian paling atas.
Nyai Hj. Amrah Kasim, Direktur Pesantren Modern Ikatan Masjid Musalla Indonesia Muttahidah (IMMIM) di Makassar, Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa pondok pesantren memiliki kebebasan dalam menentukan segala hal, seperti kurikulum, sistem, dan manajemen, namun tetap dalam batasan kesetiaan kepada negara Republik Indonesia. Ia menjelaskan bahwa hal ini sebenarnya menjadi kewajiban semua elemen bangsa, termasuk pondok pesantren dengan kurikulum berbasis kitab-kitab kuning. Menurutnya, pesantren merupakan cerminan dari Islam yang damai.
Pesantren telah lama menjadi elemen penting dalam pendidikan nasional, berkontribusi besar dalam mendidik anak-anak bangsa sejak era sebelum kemerdekaan. Alumni pesantren, baik secara personal maupun institusional, memiliki rekam jejak yang kuat dalam mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan.
Namun, di sisi lain, terdapat pesantren-pesantren yang mendapat pengaruh transnasionalisme Islam dan menolak kedaulatan negara, melarang upacara bendera, dan menganggap pemerintah sebagai taghut.
Pemerintah telah mengakui pondok pesantren sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dan menganggap lulusan pesantren setara dengan lulusan pendidikan formal. Melalui Undang-Undang Pesantren, pemerintah mengakui bahwa pendidikan nonformal di pesantren bukan sekadar pelengkap, tambahan, atau pengganti, tetapi merupakan pendidikan utama dengan pengajian kitab kuning sebagai fokus pembelajaran.
Status nonformal yang diberikan pada pendidikan pesantren bukan berarti pendidikan tersebut diabaikan dan tidak diakui secara patut. Dalam hal ini, kehadiran negara diperlukan untuk memperkuat pendidikan khas yang ada.
KH. Muhyiddin Khotib, seorang dosen di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, mengharapkan para pesantren menerima pengakuan pemerintah ini dengan positif. Dukungan dari pemerintah bukanlah bentuk intervensi terhadap pesantren, melainkan memberi kesempatan bagi lulusan pesantren untuk melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan dengan lebih mudah. Dengan adanya legalitas yang diakui, isu yang diperjuangkan pesantren hanya seputar kualitas pendidikan yang mereka berikan.
Dengan pengakuan dari pemerintah, para santri dapat melanjutkan pendidikan ke mana pun, melamar pekerjaan di mana pun, bahkan dapat bergabung sebagai anggota TNI-Polri dan lembaga pemerintahan lainnya. Pengakuan tersebut memberi kelegaan bagi lulusan pesantren agar tidak merasa teralienasi di tengah masyarakat.
Melalui peran Majelis Masyayikh dan Dewan Masyayikh, diharapkan pesantren terus berkembang dan memberikan pendidikan berkualitas sesuai dengan komitmen kebangsaan yang menghormati nilai-nilai Islam yang damai.