Guru Besar Universitas Hasanuddin Mendorong Kedaulatan Hukum yang Memadai dalam Melihat Peran Media Sosial sebagai Pilar Demokrasi

by -181 Views
Guru Besar Universitas Hasanuddin Mendorong Kedaulatan Hukum yang Memadai dalam Melihat Peran Media Sosial sebagai Pilar Demokrasi

Online24, Makassar – Regulasi media khususnya penyiaran yang berlaku saat ini, sebenarnya dapat digunakan untuk mencakup media berbasis internet. Kata “lainnya” dalam definisi penyiaran dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan ruang yang disediakan oleh pembuat regulasi untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi terutama di bidang penyiaran di masa depan.

Namun, dalam Uji Materi di Mahkamah Konstitusi mengenai undang-undang tersebut, justru menegaskan bahwa kata penyiaran tidak mencakup internet.

Hal ini terungkap dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) yang diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dengan tema “Kesetaraan Regulasi Penyiaran Berbasis Internet dan Konvensional” di kota Makassar, 21 September.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Judhariksawan, SH., MH, yang menjadi narasumber dalam diskusi tersebut mengungkapkan bahwa International Telecommunication Union (ITU) dalam studi terbaru tidak memberikan definisi baku untuk internet. ITU memberikan kesempatan pada setiap negara untuk mendefinisikan makna internet itu sendiri.

Menurut Ketua KPI Pusat periode 2013-2016, persoalan kesetaraan regulasi saat ini adalah masalah antara platform dan konten.

Pengawasan platform bisa diserahkan kepada negara. Namun untuk pengawasan konten, KPI merupakan lembaga yang memiliki pengalaman dalam melakukan pemantauan, pengawasan, dan menanggapi keluhan publik terhadap isi siaran.

“Ibaratnya, mungkin tidak salah jika pengawasan konten media berbasis internet diserahkan kepada KPI,” katanya.

Menurutnya, masalah konten adalah masalah kedaulatan rakyat yang harus dilindungi.

“Oleh karena itu, biarkan masyarakat yang mengawasi kontennya, diwakili oleh KPI. Supaya tidak ada rezim otoriter yang memblokir kontennya, sedangkan untuk platform, biarkan negara yang mengawasi,” tambah Judha.

Secara khusus, dia menjelaskan bahwa esensi penyiaran menurut ITU adalah untuk diterima oleh publik. Pertanyaannya, apakah konten di internet merupakan media komunikasi untuk diri sendiri, atau untuk publik? Jika konten itu ditujukan untuk diterima oleh publik, seharusnya dianggap sebagai penyiaran.

Lebih lanjut, Judha mengingatkan bahwa kita telah sepakat bahwa media adalah pilar keempat demokrasi. Dengan demikian, media harus diperlakukan dengan regulasi yang khusus, termasuk memberikan hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan oleh media.

Saat ini, dengan kondisi media sulit menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah, muncul keinginan untuk menjadikan media sosial sebagai pilar kelima demokrasi.

“Jika demi demokrasi dan kedaulatan rakyat, kita menyetujui bahwa media sosial sebagai pilar kelima demokrasi, maka kita harus memberikan kedaulatan pada media sosial. Kita juga harus memberikan perlindungan hukum sebagaimana yang kita berikan pada media,” tegasnya.

Saat ini, di media berbasis internet termasuk media sosial, kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat juga diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Jika ada keluhan atas siaran di YouTube atau media lain dengan platform internet, pembuat konten berpotensi dijerat hukum. Namun jika menangani konten seperti di lembaga penyiaran, tindak lanjut atas keluhan atau pelanggaran akan berujung pada sanksi administratif atau pembinaan lembaga penyiaran sebagai penyedia siaran.

“Tergantung pada bagaimana kita ingin memperlakukan konten di media sosial ini, apakah kita ingin langsung dihukum seperti di Undang-Undang ITE?” tanyanya dengan diplomatis.

Diskusi berlangsung hangat dengan pertanyaan dan tanggapan dari peserta yang sebagian besar merupakan praktisi media, baik dari lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran publik, maupun media cetak. Perwakilan dari Radio Republik Indonesia (RRI) bertanya mengenai identitas lembaganya dalam menghadapi perkembangan teknologi dengan menyiarkan konten multi-platform.

Sementara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga mendukung revisi undang-undang penyiaran.

Namun, belakangan AJI menolak revisi tersebut karena ada pasal-pasal yang dianggap melanggar kebebasan pers dan kurang partisipasi publik.

Secara khusus, AJI mengingatkan KPI untuk tetap mendorong keberagaman kepemilikan lembaga penyiaran dan eksistensi konten lokal yang sebenarnya sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Penyiaran, namun pelaksanaannya belum sepenuhnya optimal.

Turut hadir dalam diskusi tersebut Ketua KPI Pusat Ubaidillah, Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Struktur Penyiaran (PKSP) KPI Pusat Muhammad Hasrul Hasan, Anggota KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Aliyah, dan Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Mimah Susanti.